Tuesday, 7 December 2010

Pengaruh Hindu di Aceh


Dari AcehPedia

Adat dan budaya Aceh yang kental dengan nuansa Islam, masih dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Hal ini disebabkan, sebelum Islam masuk, Hindu telah berkembang di Aceh. Setelah Islam masuk, unsur-unsur Hindu dihilangkan, namun tradisinya masih ada yang dipertahankan sampai sekarang.
Asimilasi budaya Aceh, pernah disinggung oleh Teuku Mansoer Leupeung, Uleebalang yang dikenal sebagai pujangga. Dalam hikayat Sanggamara, tokoh yang hidup seangkatan dengan Teuku Panglima Pole mini mengisahkan.
Adat Aceh bak riwayat
Bacut sapat dudoe teuka
Peutama phon dalam kitab
Bangsa Arab nyang peuteuka

Nyang keudua bak Meulayu
Nibak Hindu dengan Jawa
Nibak Cina na sigeuteu
Adat badu ngon Manila

 Bangsa Jawa ngon Meulayu
Le that teungku keunan teuka
Hingga rame nanggroe makmu
Meurah breuh bu meuhai lada

Bak peukayan dum ban laku
Ureung Hindu nyang peuteuka

Cuba tilek tingkah laku
Bajei Badu ladom pih na

Susoen bahsa Ara Meulayu
Barat timu bacut biza
Bahsa Arab na sigeuteu
Jampu bawu laen pih na

Walau Islam telah kuat, sebahagian tradisi dan cara hidup Hindu ada yang terus melekat pada masyarakat Aceh. Bahkan tradisi yang bersifat positif terus dipertahankan, seperti tradisi hidup bergotong royong dan berbagai tradisi lainnya yang kemudian unsur hidupnya diganti secara bertahap dengan syariat Islam.
Tradisi-tradisi Hindu yang telah diislamkan tersebut masih ada sampai sekarang, seperti pada acara khanduri laoet ( kenduri laut ) yang dilakukan oleh para nelayan. Dulu pada acara kenduri laut ini, darah kerbau itu ditampung, asoe dalam (organ dalam) kerbau tersebut beserta kepala, dibungkus kembali dengan kulitnya dan kemudian dihanyutkan ke tengah laut sebagai persembahan kepada penghuni laut.
Acara kenduri laut ini masih bertahan sampai sekarang, tetapi seiring dengan masuknya Islam, pemberi sesajen untuk penghuni laut dihilangkan, upacara pembuatan sesajennya diganti dengan kenduri dan doa bersama. Daging sapi atau kerbau yang disembelih tersebut dimakan bersama anak yatim dan fakir miskin agar hajatan yang dilakukan tersebut mendapat berkah.
Pemotongan ayam putih dan ayam hitam pada daka (pintu air) tambak oleh petani tambak sebelum panen juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu yang masih dilakukan sampai sekarang oleh petani tambak tradisionil. Paha, hati dan dada ayam tersebut baik yang dimasak, dipanggang dan digoreng, bersama dengan masakan lainnya dibungkus dengan daun pisang terpisah-pisah kemudian disatukan dalam pelepah pinang yang dibentuk seperti sampan untuk dipasang pada pohon atau batang kayu ditengah tambak. Ini juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu. Kini acara ini mulai diganti dengan makan dan berdoa bersama anak yatim sebelum tambak panen.
Selain itu peusijuek (tepung tawar) barang-barang berharga yang baru dibeli seperti kereta dan  mobil, dengan menggunakan berbagai jenis rumput. Dengan akar rumput tersebut yang telah diikat, air dipercikkan ke barang yang ditepung tawarkan.. Acara peusoen  atau  peusijeuk  orang yang baru sembuh dari sakit atau pulang dari bepergian jauh juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu.
Begitu juga acara belah kelapa pada saat peutreun aneuk miet ( membawa keluar rumah bayi pertama kali ) juag merupakan tradisi-tradisi Hindu yang masih ada sampai sekarang dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dalam berpakaian, tusuk konde pada sanggul wanita juga merupakan tata cara berpakaian Hindu yang membudaya dalam masyarakat Aceh sampai sekarang.
Malah ada yang lebih kental lagi dan dilarang dalam Islam, seperti pemujaan terhadap pohon-pohon besar dengan cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat dengan berbagai benang pada cabang pohon oleh para pemuja sihir, itu juga merupakan  budaya Hindu.
Bekas-bekas kerajaan masih dapat kita temukan walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, kecamatan Ulim (perbatasan Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan di Ladong.
Mesjid Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.

mengenal meureudu

Kota Meureudu
Meureudu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie Jaya, Nanggröe Aceh Darussalam, Indonesia.
Meureudu, lebih sering disebut Keude Meureudu, merupakan ibu kota Kabupaten Pidie Jaya. Kota ini terletak di pesisir timur Kabupaten Pidie Jaya. Daerah ini terkenal dengan aneka masakan khas India yang lezat, seperti martabak kari dan nasi briani yang tidak berbeda jauh dengan negara asalnya, karena mayoritas penduduk Meureudu merupakan keturunan Hindi (India).


sejarah meureudu

Sejarah Meureudu
Negeri Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota Kerajaan Aceh. Namun konspirasi politik kerajaan menggagalkannya. Sampai kerajaan Aceh runtuh, Meureudu masih sebuah negeri bebas.

Negeri Meureudu sudah terbentuk dan diakui sejak zaman Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) Meureudu semakin diistimewakan. Menjadi daerah bebas dari aturan kerajaan. Hanya satu kewajiban Meureudu saat itu, menyediakan persediaan logistik (beras) untuk kebutuhan kerajaan Aceh.

Dalam perjalanan tugas Iskandar Muda ke daerah Semenanjung Melayu (Malaysia¬-red) tahun 1613, singgah di Negeri Meureudu, menjumpai Tgk Muhammad Jalaluddin, yang terkenal dengan sebutan Tgk Ja Madainah. Dalam percaturan politik kerajaan Aceh negeri Meureudu juga memegang peranan penting.

Hal itu sebegaimana tersebut dalam Qanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, yang merupakan Undang-Undang (UU) nya Kerajaan Aceh. Saat Aceh dikuasai Belanda, dan Mesjid Indra Puri direbut, dokumen undang-undang kerajaan itu jatuh ke tangan Belanda. Oleh K F van Hangen, dokumen itu kemudian diterbitkan dalam salah satu majalah yang terbit di negeri Belanda.

Dalam pasal 12 Qanun Al-Asyi disebutkan, “Apabila Uleebalang dalam negeri tidak menuruti hukum, maka sultan memanggil Teungku Chik Muda Pahlawan Negeri Meureudu, menyuruh pukul Uleebalang negeri itu atau diserang dan Uleebalang diberhentikan atau diusir, segala pohon tanamannya dan harta serta rumahnya dirampas.�

Kutipan Undang-Undang Kerajaan Aceh itu, mensahihkan tentang keberadaan Negeri Meureudu sebagai daerah kepercayaan sultan untuk melaksanakan segala perintah dan titahnya dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan Kerjaan Aceh Darussalam.

Malah karena kemampun tersebut, Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota kerajaan. Caranya, dengan menimbang air Krueng Meureudu dengan air Krueng Aceh. Hasilnya Air Krueng Meureudu lebih bagus. Namun konspirasi elit politik di Kerajaan Aceh mengganti air tersebut. Hasilnya ibu kota Kejaan Aceh tetap berada di daerah Banda Aceh sekarang (seputar aliran Krueng Aceh). Untuk mempersiapkan pemindahan ibu kota kerajaan tersebut, sebuah benteng pernah dididirkan sultan Iskandar Muda di Meureudu. Benteng itu sekarang ada di tepi sungai Krueng Meureudu.

Peranan Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam percaturan politik Pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan (ekspansi) ke semenanjung Melayu (Malaysia-red). Ia mengangkat Malem Dagang dari Negeri Meureudu sebagai Panglima Perang, serta Teungku Ja Pakeh-juga putra Meureudu-sebagai penasehat perang, mendampingi Panglima Malem Dagang.

Setelah Semenanjung Melayu, yakni Johor berhasil ditaklukkan oleh Pasukan pimpinan Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin memberikan perhatian khusus terhadap negeri Meureudu. Kala itu sultan paling tersohor dari Kerajaan Aceh itu mengangkat Teungku Chik di Negeri Meureudu, putra bungsu dari Meurah Ali Taher yang bernama Meurah Ali Husein, sebagai perpanjangan tangan Sultan di Meureudu.

Negri Meureudu negeri yang langsung berada dibawah kesultanan Aceh dengan status nenggroe bibeueh (negeri bebas-red). Dimana penduduk negeri Meureudu dibebaskan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa terhadap Kerajaan Aceh, yakni menyediakan bahan makanan pokok (beras-red), karena Negeri Meureudu merupakan lubung beras utama kerajaan.

Keistimewaan Negeri Meureudu terus berlangsung sampai Sultan Iskandar Muda diganti oleh Sultan Iskandar Tsani. Pada tahun 1640, Iskandar Tsani mengangkat Teuku Chik Meureudu sebagai penguasa defenitif yang ditunjuk oleh kerajaan. Ia merupakan putra sulung dari Meurah Ali Husein, yang bermana Meurah Johan Mahmud, yang digelar Teuku Pahlawan Raja Negeri Meureudu.

Pada zaman penjajahan Belanda, Negeri Meureudu dirubah satus menjadi Kewedanan (Orderafdeeling) yang diperintah oleh seorang Controlleur. Selama zaman penjajahan Belanda, Kewedanan Meureudu telah diperintah oleh empat belas orang Controlleur, yang wilayah kekuasaannya meliputi dari Ulee Glee sampai ke Panteraja.

Setelah tentara pendudukan Jepang masuk ke daerah Aceh dan mengalahkan tentara Belanda, maka Jepang kemudian mengambil alih kekuasaan yang ditinggalakan Belanda itu dan menjadi penguasa baru di Aceh. Di masa penjajahan Jepang, masyarakat Meureudu dipimpin oleh seorang Suntyo Meureudu Sun dan Seorang Guntyo Meureudu Gun.

Sesudah melewati zaman penjajahan, sejak tahun 1967, Meureudu berubah menjadi Pusat Kewedanan sekaligus Pusat Kecamatan. Selama Meureudu berstatus sebagai Kewedanan, telah diperintah oleh tujuh orang Wedana. Pada tahun 1967, Kewedanan Meureudu dipecah menjadi empat kecamatan yaitu Ulee Glee, Ulim, Meureudu dan Trienggadeng Penteraja, yang masing-masing langsung berada dibawah kontrol Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie.

Daerah kewedanan Meureudu kemudian dijadikan sebagai Kabupaten Baru (Pidie Jaya) yang membawahi delapan Kecamatan, yakni Kecamatan Bandar Dua, Kecamatan Jangka Buya (pacahan Bandar Dua), Kecamatan Ulim, Kecamatan Meureudu, kecamatan Meurah Dua (Pecahan Meureudu), Kecamatan Trienggadeng, Kecamatan Panteraja (Pecahan Trienggadeng) dan Kecamatan Bandar Baru. Delapan kecamatan di bagian timur kabupaten Pidie ini ditetapkan sebagai Kabupaten Pidie Jaya, dengan Meureudu sebagai ibu kotanya.

meureudu sejalan dengan waktu

Meureudu Sejalan Dengan Waktu
Meureudu yang kini menjadi ibu kota Pidie Jaya adalah sebuah wilayah yang sangat penting  dalam perjalanan lintasan sejarah Kerajaan Aceh Darussalam.  Dari keistimewaan menjadi daerah yang bebas dari segala aturan sampai pernah dicalonkan menjadi ibu kota kerajaan Aceh.
Negeri Meureudu sudah terbentuk dan diakui sejak zaman Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) Meureudu semakin diistimewakan. Menjadi daerah bebas dari aturan kerajaan. Hanya satu kewajiban Meureudu saat itu, menyediakan persediaan logistik (beras) untuk kebutuhan kerajaan Aceh.  Negeri Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota Kerajaan Aceh. Namun konspirasi politik kerajaan menggagalkannya. Sampai kerajaan Aceh runtuh, Meureudu masih sebuah negeri bebas.
Dalam perjalanan tugas Iskandar Muda ke daerah Semenanjung Melayu (Malaysia-red) tahun 1613, singgah di Negeri Meureudu, menjumpai Tgk Muhammad Jalaluddin, yang terkenal dengan sebutan Tgk Ja Madainah. Dalam percaturan politik kerajaan Aceh negeri Meureudu juga memegang peranan penting.
Hal itu sebegaimana tersebut dalam Qanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, yang merupakan Undang-Undang (UU) nya Kerajaan Aceh. Saat Aceh dikuasai Belanda, dan Mesjid Indra Puri direbut, dokumen undang-undang kerajaan itu jatuh ke tangan Belanda. Oleh K F van Hangen, dokumen itu kemudian diterbitkan dalam salah satu majalah yang terbit di negeri Belanda.
Dalam pasal 12 Qanun Al-Asyi disebutkan, “Apabila Uleebalang dalam negeri tidak menuruti hukum, maka sultan memanggil Teungku Chik Muda Pahlawan Negeri Meureudu, menyuruh pukul Uleebalang negeri itu atau diserang dan Uleebalang diberhentikan atau diusir, segala pohon tanamannya dan harta serta rumahnya dirampas.”
Kutipan Undang-Undang Kerajaan Aceh itu, mensahihkan tentang keberadaan Negeri Meureudu sebagai daerah kepercayaan sultan untuk melaksanakan segala perintah dan titahnya dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan Kerjaan Aceh Darussalam.
Malah karena kemampun tersebut, Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota kerajaan. Caranya, dengan menimbang air Krueng Meureudu dengan air Krueng Aceh. Hasilnya Air Krueng Meureudu lebih bagus. Namun konspirasi elit politik di Kerajaan Aceh mengganti air tersebut. Hasilnya ibu kota Kejaan Aceh tetap berada di daerah Banda Aceh sekarang (seputar aliran Krueng Aceh). Untuk mempersiapkan pemindahan ibu kota kerajaan tersebut, sebuah benteng pernah dididirkan sultan Iskandar Muda di Meureudu. Benteng itu sekarang ada di tepi sungai Krueng Meureudu.
Peranan Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam percaturan politik Pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan (ekspansi) ke semenanjung Melayu (Malaysia-red). Ia mengangkat Malem Dagang dari Negeri Meureudu sebagai Panglima Perang, serta Teungku Ja Pakeh-juga putra Meureudu-sebagai penasehat perang, mendampingi Panglima Malem Dagang.
Setelah Semenanjung Melayu, yakni Johor berhasil ditaklukkan oleh Pasukan pimpinan Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin memberikan perhatian khusus terhadap negeri Meureudu. Kala itu sultan paling tersohor dari Kerajaan Aceh itu mengangkat Teungku Chik di Negeri Meureudu, putra bungsu dari Meurah Ali Taher yang bernama Meurah Ali Husein, sebagai perpanjangan tangan Sultan di Meureudu.
Negri Meureudu negeri yang langsung berada dibawah kesultanan Aceh dengan status nenggroe bibeueh (negeri bebas-red). Dimana penduduk negeri Meureudu dibebaskan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa terhadap Kerajaan Aceh, yakni menyediakan bahan makanan pokok (beras-red), karena Negeri Meureudu merupakan lubung beras utama kerajaan.
Keistimewaan Negeri Meureudu terus berlangsung sampai Sultan Iskandar Muda diganti oleh Sultan Iskandar Tsani. Pada tahun 1640, Iskandar Tsani mengangkat Teuku Chik Meureudu sebagai penguasa defenitif yang ditunjuk oleh kerajaan. Ia merupakan putra sulung dari Meurah Ali Husein, yang bermana Meurah Johan Mahmud, yang digelar Teuku Pahlawan Raja Negeri Meureudu.
Sejak Meurah Johan Mahmud hingga kedatangan kolonial Belanda, negeri Meureudu telah diperintah oleh sembilan Teuku Chik, dan selama penjajahan Belanda, Landscap Meureudu telah diperintah oleh tiga orang Teuku Chik (Zelfbeestuurders).
Kemudain pada zaman penjajahan Belanda, Negeri Meureudu dirubah satus menjadi Kewedanan (Orderafdeeling) yang diperintah oleh seorang Controlleur. Selama zaman penjajahan Belanda, Kewedanan Meureudu telah diperintah oleh empat belas orang Controlleur, yang wilayah kekuasaannya meliputi dari Ulee Glee sampai ke Panteraja.
Setelah tentara pendudukan Jepang masuk ke daerah Aceh dan mengalahkan tentara Belanda, maka Jepang kemudian mengambil alih kekuasaan yang ditinggalakan Belanda itu dan menjadi penguasa baru di Aceh. Di masa penjajahan Jepang, masyarakat Meureudu dipimpin oleh seorang Suntyo Meureudu Sun dan Seorang Guntyo Meureudu Gun.
Sesudah melewati zaman penjajahan, sejak tahun 1967, Meureudu berubah menjadi Pusat Kewedanan sekaligus Pusat Kecamatan. Selama Meureudu berstatus sebagai Kewedanan, telah diperintah oleh tujuh orang Wedana. Pada tahun 1967, Kewedanan Meureudu dipecah menjadi empat kecamatan yaitu Ulee Glee, Ulim, Meureudu dan Trienggadeng Penteraja, yang masing-masing langsung berada dibawah kontrol Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie.
Kini daerah kewedanan Meureudu akan dijadikan sebagai Kabupaten Baru (Pidie Jaya) yang membawahi delapan Kecamatan, yakni Kecamatan Bandar Dua, Kecamatan Jangka Buya (pacahan Bandar Dua), Kecamatan Ulim, Kecamatan Meureudu, kecamatan Meurah Dua (Pecahan Meureudu), Kecamatan Trienggadeng, Kecamatan Panteraja (Pecahan Trienggadeng) dan Kecamatan Bandar Baru. Delapan kecamatan di bagian timur kabupaten Pidie ini ditetapkan sebagai Kabupaten Pidie Jaya, dengan Meureudu sebagai ibu kotanya.***