Sunday, 23 October 2011

Artikel ini ditujukan untuk setiap muslim yang masih memiliki darah mengalir di nadinya

Nadia adalah salah satu korban tentara Amerika di penjara Abu Ghraib. Dia ditangkap tanpa alasan. Ketika dia dibebaskan dari penjara, tidak langsung kembali ke pangkuan keluarganya sebagaimana kebanyakan tahanan lainnya yang telah mengalami hal buruk, meskipun ketika dia telah terbakar oleh api penindasan dan kerinduan pada keluarganya.

Nadia kabur dengan segera setelah dia meninggalkan penjara, bukan karena perasaan malu yang akan diterimanya karena sejumlah kejahatan yang dilakukannya, akan tetapi karena apa yang telah dialami olehnya dan wanita Iraq lain yang tertangkap, yaitu pemerkosaan dan penyiksaan yang dilakukan oleh tentara Amerika di penjara Abu Ghraib. Dinding penjara mengungkapkan banyak cerita tragis, namun apa yang dikisahkan Nadia merupakan kebenaran hidup dan sekaligus neraka hidup.

Nadia memulai ceritanya:

“Aku sedang mengunjungi salah seorang kerabatku, kemudian tiba-tiba tentara Amerika memasuki rumahnya dan mulai menggeledah rumah itu. Mereka menemukan beberapa senjata ringan. Maka merekapun menangkap semua orang yang berada di rumah itu termasuk aku. Aku mencoba menjelaskan pada penerjemah yang menyertai patroli Amerika bahwa aku hanyalah seorang pengunjung. Akan tetapi pembelaanku gagal. Aku kemudian menangis, memohon pada mereka, sampai hilang kesadaran karena takut ketika mereka membawaku ke penjara Abu Ghraib.

Nadia melanjutkan: “mereka menempatkanku sendirian di sebuah sel penjara yang gelap dan kotor. Aku berharap aku akan segera dibebaskan, utamanya setelah penyelidikan terbukti aku tidak melakukan kejahatan”.

Nadia menjelaskan sambil air matanya mengalir ke pipinya, sebuah pertanda betapa banyak dia telah mengalami penderitaan.

“Hari pertama sangat menyusahkan. Selnya berbau tidak sedap, lembab dan gelap, kondisi ini membuatku semakin lama semakin takut. Suara tertawa prajurit di luar sel semakin membuatku ketakutan. Aku khawatir akan apa yang menimpaku nanti. Untuk pertama kalinya aku merasa berada dalam cengkraman situasi yang sulit dan aku telah memasuki sebuah dunia yang tidak dikenal yang aku tidak akan pernah keluar darinya.

Ditengah beraneka ragamnya perasaanku saat itu, aku mendengar suara seorang tentara wanita Amerika berbicara dalam bahasa Arab. Dia berkata kepadaku: “Aku tidak mengira penjual senjata di Iraq adalah wanita.” Ketika aku mulai mencoba menjelaskan kepadanya kondisi yang sebenarnya, dia memukulku dengan kejam. Aku menangis dan berteriak “Demi Allah ! aku dianiaya, demi Allah ! aku dianiya”

Tentara wanita itu menghujaniku dengan cacian dengan cara yang belum pernah aku bayangkan bisa terjadi atau aku akan diperlakukan seperti itu dalam keadaan apapun selamanya. Kemudian dia mulai menertawakanku sambil mengatakan bahwa dia telah memonitorku sepanjang hari dengan satelit, dan bahwa mereka mampu melacak musuh-musuh mereka meskipun sedang berada di dalam kamar tidur mereka sendiri dengan teknologi Amerika.

Kemudian dia tertawa dan berkata,”Aku mengawasimu ketika kamu bercinta dengan suamimu.” Aku menjawab dengan suara kebingungan “Tapi aku belum menikah”.

Dia memukuliku selama lebih dari 1 jam dan dia memaksaku minum segelas air, yang kemudian kuketahui mereka memberi obat di air itu. Aku mendapatkan kembali kesadaranku setelah 2 hari dalam keadaan telanjang. Segera aku tahu jika aku telah kehilangan sesuatu yang hukum apapun di dunia tidak akan mampu mengembalikannya kepadaku lagi. Aku telah diperkosa. Aku kemudian histeris tak terkontrol, dan aku mulai memukulkan kepalaku dengan keras ke tembok sampai lebih dari lima tentara Amerika yang dikepalai tentara wanita itu memasuki sel dan mulai memukuliku, kemudian mereka memperkosaku bergantian sambil tertawa-tawa dan menperdengarkan musik dengan keras.

Hari demi hari skenario pemerkosaan terhadapku diulangi. Dan setiap hari mereka menemukan cara baru yang lebih kejam dibanding dengan yang sebelum-sebelumnya.”

Nadia mulai menjelaskan perbuatan mengerikan dari Amerika bajingan:

“Setelah sekitar satu bulan, seorang tentara negro memasuki selku dan melemparkan 2 potong pakaian militer Amerika kepadaku. Dalam bahasa Arab yang lemah dia mengatakan agar aku memakainya. Setelah dia menutup kepalaku dengan kantong hitam, dia menuntunku ke toilet umum yang ada pipa untuk air dingin dan panas, dan dia memintaku untuk mandi. Kemudian dia menutup pintu dan pergi.

Aku menjadi sangat lelah dan merasakan kesakitan, tanpa mempedulikan banyaknya memar di tubuhku aku menuangkang sejumlah air ke badanku. Sebelum aku selesai mandi, tentara negro tadi masuk ke dalam. Aku ketakutan dan memukul wajahnya dengan mangkok air. Namun dia sangat kuat, dia memperkosaku dengan kejam dan meludahi mukaku, kemudian dia pergi dan kembali lagi dengan 2 tentara yang membawaku kembali ke sel.

Perlakuan seperti itu terus berlanjut, yang paling parah kadang aku diperkosa sampai 10 kali dalam sehari, membuat kesehatanku sangat buruk.”

Nadia berlanjut mengungkapkan perbuatan Amerika yang mengerikan terhadap wanita-wanita Iraq, dia berkata:

“Setelah lebih dari 4 bulan, seorang tentara wanita datang, dan aku menyimpulkan dari percakapannya dengan tentara lainnya jika namanya adalah Mary. Dia berkata kepadaku “sekarang kamu memiliki kesempatan emas, karena seorang petugas yang memiliki posisi tinggi akan mengunjungi kita hari ini. Jika kamu menghadapinya dengan sikap yang positif kamu akan dibebaskan, terutama karena kami sekarang yakin kamu tidak bersalah.”

Aku menjawab,”Jika kalian yakin aku tidak bersalah, mengapa kalian tidak membebaskan aku?”

Dia menjerit dengan gelisah,”Satu-satunya yang menjamin terbebasnya kamu adalah sikap positifmu terhadap mereka.”

Dia membawaku ke toilet umum, dan dia mengawasiku mandi sambil membawa tongkat tebal untuk memukulku jika aku tidak melakukan perintahnya. Kemudian, dia memberiku make up, dan memperigatkanku untuk tidak menangis dan merusak make up ku. Lalu dia membawaku ke sebuah ruangan kosong yang di situ tidak ada apapun kecuali sebuah penutup lantai. Setelah satu jam dia datang dengan ditemani 4 tentara dengan memegang kamera. Dia melepas bajunya dan mulai menggangguku seoalah-olah dia adalah seorang lelaki. Tentara lainnya tertawa dan memperdengarkan musik yang ribut, mengambil photoku dalam berbagai pose, dan mereka menunjuk-nunjuk wajahku. Yang wanita menyuruhku tersenyum, jika tidak dia akan membunuhku. Dia mengambil pistol dari salah satu temannya dan menembakkan empat peluru di dekat kepalaku seraya bersumpah bahwa peluru yang kelima akan ditembakkan tepat di kepalaku.

Setelah itu, keempat tentara lainnya memperkosaku secara bergantian sampai aku kehilangan kesadaranku. Ketika kesadaranku pulih aku menemukan diriku di sel dengan bekas-bekas gigitan, kuku dan rokok ada di sekujur tubuhku.”

Nadia berhenti bercerita tentang tragedi yang menimpanya untuk menyeka air matanya, kemudian dia melanjutkan lagi: “Kemudian suatu hari Mary datang dan mengatakan kepadaku bahwa aku kooperatif dan akan dibebaskan setelah aku menonton film yang mereka rekam. Aku merasa sakit setelah menonton filmnya, dan Mary mengatakan,”Kamu telah diciptakan hanya untuk membuat kami bersenang-senang”. Saat itu aku menjadi sangat marah dan aku menyerangnya meskipun aku takut akan reaksinya, aku akan membunuhnya kalau saja tentara lain tidak turut campur. Ketika para tentara melepaskanku, Mary menghujaniku dengan pukulan, kemudian mereka meninggalkanku.

Setelah kejadian itu, tidak ada seorangpun yang menggangguku selama lebih dari satu bulan. Aku menghabiskan masa itu dengan beribadah dan berdoa pada Allah Ta’ala yang memiliki seluruh kekuatan untuk menolongku.

Mary datang dengan beberapa tentara yang memberiku pakaian yang kukenakan ketika mereka menangkapku dan membawaku ke sebuah mobil Amerika. Kemudian mereka melemparkanku di sebuah jalan raya setelah memberiku 10.000 dinar Iraq.

Aku pergi ke sebuah rumah yang berdekatan dengan tempat aku dibuang, dan untuk mengetahui reaksi keluargaku, aku memilih mengunjungi salah seorang kerabatku supaya mereka mengetahui apa yang telah menimpaku ketika menghilang. Aku mengetahui bahwa saudaraku telah memasang papan tanda duka untukku selama lebih dari 4 bulan, mereka menganggapku sebagai orang yang sudah mati.

Aku memahami jika tikaman malu sudah menungguku. Maka, aku pergi ke Baghdad dan menemukan sebuah keluarga yang baik yang menampungku, dan aku bekerja pada keluarga ini sebagai pembantu dan guru privat bagi anak-anaknya.

Nadia terheran dalam kesakitan, penyesalan dan kemarahan:

“Siapa yang akan memuaskan dahagaku? Siapa yang akan mengembalikan keperawananku? Apa salah keluarga dan familiku? Aku mengandung seorang bayi, bahkan akupun tidak tahu siapa ayahnya.”

Dan Nadia mengakhiri ceritanya sampai di sini.

Apakah Amerika hanya memperkosa Nadia ataukah mereka memperkosa seluruh pria dan wanita di Ummat Islam ? Nadia adalah saya dan anda, istrimu dan juga istriku, saudarimu dan juga saudariku, ibumu serta ibuku. Dimanakah para pembela kesucian Islam! Dimanakah para pembela Islam!

“Mungkin masih banyak kisah menyesakan dada, bagi kita ummat Islam. Mungkin masih ada Nadia-Nadia lain di dalam penjara penuh penjaga babi dan kera berbangsa Amerika. Dimanakah kalian, jikalau kalian tidak tersentuh dengan cerita saudari kita, marahkah kalian dengan perlakuan manusia-manusia yang lebih kotor dari binatang ternajis sekalipun, bahkan mungkin mereka menjadi yang paling hina di Dunia dan Akhirat. Bangunlah wahai ummat!! Tidur kalian sudah terlalu lelap!!” [Mpd]

Tuesday, 22 March 2011

kematian

Sebelum membicarakan wawasan Al-Quran tentang kematian,
terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa kematian dalam
pandangan Al-Quran tidak hanya terjadi sekali, tetapi dua
kali. Surat Ghafir ayat 11 mengabadikan sekaligus membenarkan
ucapan orang-orang kafir di hari kemudian:

"Mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami, Engkau telah
mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan
kami dua kali (pula), lalu kami menyadari
dosa-dosa kami maka adakah jalan bagi kami untuk
keluar (dari siksa neraka)?"

Kematian oleh sementara ulama didefinisikan sebagai
"ketiadaan hidup," atau "antonim dari hidup." Kematian
pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat
sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang
kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Kehidupan pertama dialami oleh manusia pada saat manusia
menarik dan menghembuskan nafas di dunia, sedang kehidupan
kedua saat ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia
hidup kekal di hari akhirat.

Al-Quran berbicara tentang kematian dalam banyak ayat,
sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga ratusan
ayat yang berbicara tentang berbagai aspek kematian dan
kehidupan sesudah kematian kedua.

KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN

Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang
kematian bukan sesuatu yang menyenangkan. Namun manusia
bahkan ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan
hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran pun melukiskan
keinginan sekelompok manusia untuk hidup selama itu (baca
surat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil merayu Adam dan
Hawa melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal
selama-lamanya.

"Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup)
dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha
[20]: 120).

DEMIKIAN IBLIS MERAYU ADAM.

Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada orang
yang enggan mati karena ia tidak mengetahui apa yang akan
dihadapinya setelah kematian; mungkin juga karena menduga
bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari yang akan
didapati nanti. Atau mungkin juga karena membayangkan betapa
sulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati. Atau
mungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap
keluarga yang ditinggalkan, atau karena tidak mengetahui
makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya
merasa cemas dan takut menghadapi kematian.

Dari sini lahir pandangan-pandangan optimistis dan
pesimistis terhadap kematian dan kehidupan, bahkan dari
kalangan para pemikir sekalipun.

Manusia, melalui nalar dan pengalamannya tidak mampu
mengetahui hakikat kematian, karena itu kematian dinilai
sebagai salah satu gaib nisbi yang paling besar. Walaupun
pada hakikatnya kematian merupakan sesuatu yang tidak
diketahui, namun setiap menyaksikan bagaimana kematian
merenggut nyawa yang hidup manusia semakin terdorong untuk
mengetahui hakikatnya atau, paling tidak, ketika itu akan
terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika ia pun pasti
mengalami nasib yang sama.

Manusia menyaksikan bagaimana kematian tidak memilih usia
atau tempat, tidak pula menangguhkan kehadirannya sampai
terpenuhi semua keinginan. Di kalangan sementara orang,
kematian menimbulkan kecemasan, apalagi bagi mereka yang
memandang bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja.
Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai kehidupan
ini sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu,
mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan menghindari
sedapat mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan
jalan melakukan apa saja secara bebas tanpa kendali, demi
mewujudkan eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari
segala sesuatu? Kilah mereka.

Sebenarnya akal dan perasaan manusia pada umumnya enggan
menjadikan kehidupan atau eksistensi mereka terbatas pada
puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa mereka
harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia
bukan berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian
sebagai kepunahan tercermin antara lain melalui penciptaan
berbagai cara untuk menunjukkan eksistensinya. Misalnya,
dengan menyediakan kuburan, atau tempat-tenapat tersebut
dikunjunginya dari saat ke saat sebagai manifestasi dari
keyakinannya bahwa yang telah meninggalkan dunia itu tetap
masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada.

Hubungan antara yang hidup dan yang telah meninggal amat
berakar pada jiwa manusia. Ini tercermin sejak dahulu kala,
bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar dianut oleh
umat manusia dewasa ini. Sedemikian berakar hal tersebut
sehingga orang-orang Mesir Kuno misalnya, meyakini benar
keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknik
yang dapat mengawetkan mayat-mayat mereka ratusan bahkan
ribuan tahun lamanya.

Konon Socrates pernah berkata, sebagaimana dikutip oleh
Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297),

"Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi)
kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian,
namun ketika aku menemukan kematian, aku pun
menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus
prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira
dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati
untuk hidup."

Demikian gagasan keabadian hidup manusia hadir bersama
manusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Kalau keyakinan
orang-orang Mesir Kuno mengantar mereka untuk menciptakan
teknik pengawetan jenazah dan pembangunan piramid, maka
dalam pandangan pemikir-pemikir modern, keabadian manusia
dibuktikan oleh karya-karya besar mereka.

Abdul Karim Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah
(I:214) mengutip tulisan Goethe (1749-1833 M) yang
menyatakan:

"Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir
dari lubuk jiwa saya, itulah yang merupakan bukti
yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya telah
mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya,
maka adalah merupakan hak saya atas alam ini untuk
menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan
saya terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul
beban jiwa."

Demikian filosof Jerman itu menjadikan kehidupan duniawi ini
sebagai arena untuk bekerja keras, dan kematian merupakan
pintu gerbang menuju kehidupan baru guna merasakan
ketenangan dan keterbebasan dari segala macam beban.

PANDANGAN AGAMA TENTANG MAKNA KEMATIAN

Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada
kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satu
perjalanan panjang dalam evolusi manusia, di mana
selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam
kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.

Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang
sangat besar dalam memantapkan akidah serta
menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian,
manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan
tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu,
agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang
kematian. Rasul Muhammad Saw., misalnya bersabda,
"Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi
(kematian)."

Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul
setelah kewajiban percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban
percaya akan adanya hidup setelah kematian.

Dari Al-Quran ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya
bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada kehidupan
tumbuhan, binatang, manusia, jin, dan malaikat, sampai ke
tingkat tertinggi yaitu kehidupan Yang Mahahidup dan
Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya
bahwa ada kehidupan di dunia dan ada pula kehidupan di
akhirat. Yang pertama dinamai Al-Quran al-hayat ad-dunya
(kehidupan yang rendah), sedangkan yang kedua dinamainva
al-hayawan (kehidupan yang sempurna).

"Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan
(kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]:
64).

Dijelaskan pula bahwa,

"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang
akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan
kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak
akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77)

Di lain ayat dinyatakan,

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika
dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang
di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin
tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan
kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di
akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini
dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi
dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat
hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38).

Betapa kehidupan ukhrawi itu tidak sempurna, sedang di
sanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi dambaan
setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup
yang tiada taranya.

Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan
kesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut Raghib
Al-Isfahani:

"Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh
dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia
menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah
perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain,
sebagaimana dirtwayatkan bahwa, "Sesungguhnya
kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian
harus berpindah dan satu negen ke negen (yang
lain) sehingga kalian menetap di satu tempat."
(Abdul Karim AL-Khatib, I:217)

Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada
hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia
dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam
yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai
kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian
juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya
kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).

Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk
kepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak
(menahan).

Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya,

"Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan
jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka
Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan
baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang
yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu."

Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai salah
satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan
menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih
mulia dan baik dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah
kematian adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta imsak
yang berarti menahan (di sisi-Nya)?

Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah
malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya
istilah ini lebih banyak ditujukan kepada manusia yang
durhaka, atau terhadap mereka yang ditinggal mati. Dalam
arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang
yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi mereka yang mati
tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup di negeri
seberang.

Catatan kaki:
1 Tajdid Al-Fikr Al-lslami, 134.
2 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad: 259.
3 Musthafa Al-Kik, hlm. 67

Saturday, 19 February 2011

Indahnya Bohongnya Ibu ( HAPPY MOTHER’S DAY )

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.


Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :
“Makanlah nak, aku tidak lapar” ———-KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA


Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping aku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata :
“Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA


Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu
membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku berkata :”Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata :
“Cepatlah tidur nak, aku tidak capek” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA


Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :
“Minumlah nak, aku tidak haus!” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT


Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri.

Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata :
“Saya tidak butuh cinta” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata :
“Saya punya duit” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM


Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku “Aku tidak terbiasa” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata :
“Jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.


Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.

Dari cerita di atas, saya percaya sahabat-sahabat sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : ” Terima kasih ibu ! ”

Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah- tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu- alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah.

Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita.

Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ayah ibu kita? Cemas apakah sudah makan atau belum? Cemas apakah ayah ibu kita sudah bahagia atau belum? cemaskah kita dengan kondisi ayah ibu kita yang telah berada di Alam Penantian ? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi..

Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ayah ibu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” kemudian hari. Minimal mendo’akan mereka atau bersedekah untuk mereka.